HMI REBORN: MANIFESTASI BUDAYA INTELEKTUAL ORGANISASI DALAM MELAHIRKAN CENDEKIAWAN MUSLIM.
78 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi refleksi bagi kita semua, dimana perjuangan kemerdekaan dibangun bukan hanya menggunakan kekuatan otot, tetapi menggunakan kecerdasan peran kaum intelektual yang mampu mengorganisir massa dan membangun persatuan bangsa. Munculnya perhimpunan pemuda-pelajar sebagai bagian dari gerakan kaum muda pada waktu itu. Mereka mencoba untuk mencari ruang publik alternatif dalam mengembangkan kemajuan, salah satu cara yang mereka gagas untuk memperluas rantai ide-ide mereka adalah melalui penerbitan buku, brosur, koran dan majalah (Latif, 2015). Mereka memiliki peran yang sangat besar bagi sejarah perjuangan bangsa ini. Jika kita runtut secara historis, dari apa yang mereka lakukan dengan menularkan ide-ide besarnya keberbagai belahan nusantara menjadi embrio munculnya persatuan nasional yang menjadi kunci kemerderkaan bangsa Indonesia.
Kaum muda, terkhusus mahasiswa dengan citranya sebagai seorang intelektual yang memiliki semangat revolusioner, perlahan mulai tergerus terbawa arus perkembangan zaman. Dari hasil survey yang dilakukan oleh salah satu dosen Unindra terhadap 120 mahasiswa di Jakarta, diperoleh angka 44% mahasiswa lebih suka chatingan, 23% membaca buku, 18% bermain game online, dan 15% menonton TV. Maka tidak salah apabila laporan Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2018 menyebutkan bahwa kemampuan membaca, matematika, dan sains Indonesia turun drastis dengan hanya menempati urutan ke 72 dari 78 negara (Yunus, 2019). Hal tersebut tentunya menjadi tantangan generasi muda hari ini, mereka harus mulai berbenah diri agar mampu membawa bangsa ini lebih baik lagi untuk kedepannya.
HMI sebagai organisasi kemahasiswaan terbesar dan tertua harus bisa hadir manjawab tantangan dan permasalahan tersebut. Budaya intelektual menjadi kunci utama yang mampu mendobrak persoalan bangsa ini. Harapannya sederhana, dengan lahirnya para intelektual muda yang menyebar keberbagai sektor akan mampu menstransformasi berbagai perubahan sesuai sasarannya dan menjadikannya sebagai alat perjuangan untuk menggaungkan satu corak baru dalam menjawab realitas yang terjadi, itulah kekuatan utama seorang intelektual dalam membangun peradaban bangsanya.
Untuk lebih mudah memahami bagaimana pengaruh cendekiawan muda terhadap perkembangan bangsa, kita bisa belajar pada dekade 1970-an, dimana Cak Nur dan para kolega seperjuangannya seperti Abdurahman wahid, Dawan Rahardjo, Kunto Wijoyo dll. mencoba mengumandangkan tujuan-tujuan islam politik melalui jalur alternatif yang lebih nyata dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Beragam cara mereka tempuh, salah satu saluran yang paling banyak digunakan adalah LSM, media massa, penerbitan-penerbitan. Dawam rahardjo yang bertransformasi melalui LP3ES, Abdurahman wahid dengan program pengembangan masyarakat lewat pesantren, dan cak nur dengan mempolopori berdirinya yayasan wakaf paramadina. Selain itu diera muncul berbagai lembaga penelitian, penerbitan, dan pusat studi yang memberi pengaruh besar pada perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia pada saat itu (Effendy, 2011).
Kontribusi besar disumbangkan oleh para cendekiawan pada waktu itu, bahkan dampaknya sangat nyata dirasakan oleh bangsa ini. Jika meminjam istilahnya Bahtiar effendy “intelektual baru melampaui partai dan parlemen”. Istilah tersebut tidak terlepas dari kekaguman seorang bahtiar effendy dalam melihat peran para cendekiawan muslim pada dekade tersebut. Seluruh Lembaga yang dipimpin oleh para cendekiawan pada waktu itu bukan hanya mampu bertransformasi sosial, tetapi mampu mengubah orientasi lembaga hingga pada tatanan praksis melalui program-program pengembangan masyarakat. Dengan demikian jika kita berkaca pada konteks Indonesia saat ini, kehadiran cendekiawan sangat dibutuhkan untuk menciptakan gerakan alternatif baru, terutama memikirkan bagaimana caranya membebaskan Indonesia dari jeratan oligarki yang menjadi babak baru demokrasi Indonesia saat ini.
HMI melalui perkaderannya harus mulai membangun kembali budaya intelektualnya dengan menyusun model perkaderan yang adaptif sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu ada satu fenomena yang menjadi persoalan mendasar yang membuat budaya intelektual di HMI menjadi menurun, yaitu adanya orientasi politik kekuasaan yang menempatkan HMI dalam pusaran politik praktis dan isu-isu politik kekuasaan sehingga membuat kader-kader cenderung lebih pragmatis (Ismail S. Wekke, 2007). Hal tersebut bukan rahasia umum lagi bagi kita semua sebagai kader HMI, karena banyak senior-senior kita yang terjerumus dalam lingkaran setan semacam itu, bahkan hingga membuat perpecahan dalam tubuh HMI sendiri. Berangkat dari persoalan tersebut sudah sepatutnya HMI bangkit ditengah kecarut-marutan yang sedang terjadi pada bangsa ini. HMI harus mulai menanta perkaderannya yang lebih berorientasi pada gerakan intelektualitas, untuk membangun paradigma berpikir kader yang menempatkannya dalam konteks perubahan sosial-politik masyarakat mustadhafin.
Daftar Pustaka
Effendy, B. (2011). Islam dan Negara. Jakarta: Democracy Project.
Ismail S. Wekke, S. M. (2007). GERAKAN MAHASISWA: TRADISI INTELEKTUAL BERWAWASAN KEINDONESIAAN KEISLAMAN.
Latif, Y. (2015). Negara Paripurna. Jakarta : Gramedia Pustaka.
Yunus, S. (2019). Survei Gaya Hidup Mahasiswa; 44% Chating, 23% Baca, 18% Game Online. Jakarta: Kumparan.com. Retrieved from https://kumparan.com/syarif-yunus/survei-gaya-hidup-mahasiswa-44-chating-23-baca-18-game-online-1sTPRJ3K3Hn/1