Provinsi Papua merupakan wilayah yang terletak paling timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan saat ini terdiri dari 28 Kabupaten dan satu kota. Wilayah Papua berbatasan secara langsung dengan negara Papua New Guinea di sebelah Timur, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Papua Barat, sebelah Selatan dengan Laut Arafuru dan di sebelah Utara berbatasan dengan Samudra Pasifik. Provinsi Papua dengan luas wilayah yang cukup besar, yakni sebesar 316.552,6 km2, dengan ciri khas hutannya yang menghijau yang dikenal dengan nama tropical rainforest wilderness area, yang hanya dapat dibandingkan dengan kekayaan yang ada di hutan Congo di Afrika dan di wilayah Amazon Amerika Selatan. Kekayaan bioversitas yang terdapat dalam hutan-hutan Papua tersimpan dalam bentuk keanekaragaman hewan, tumbuhan, alam dan ekowisata. Selain kekayaan bioversitas, daratan papua juga memiliki keanekaragaman suku-suku bangsa dengan bahasanya masing-masing (Perkim, 2023).

Keanekaragaman disana menjadikan tanah Papua di juluki sebagai “Bumi Cenderawasih” karena bagaikan surga yang menawan di Bumi Pertiwi ini. Namun, hal tersebut dipatahkan oleh trending di media sosial sekarang ini yang membuat tagar All Eyes On Papua. Tagar tersebut menjadi trending topik di dunia maya sebagai bentuk aksi dan dukungan terhadap masyarakat Papua yang tengah berjuang menolak pembangunan perkebunan sawit di wilayah mereka.

Masyarakat adat yang berada disana, diantaranya suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya tengah berjuang dengan mengajukan gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka yang akan dijadikan perkebunan sawit. Hutan yang berada di Papua merupakan benteng terakhir dalam menghadapi krisis iklim bagi warga Indonesia dan menjadi hutan hujan tropis terbesar setelah hutan amazon sekaligus hutan pristine terakhir di Indonesia. Pada hari Senin, 27 Mei 2024 mereka menggelar doa dan ritual di depan gedung Mahkamah Agung dengan mamakai busana khas suku mereka.

Pejuang lingkungan dari suku Awyu, Hendrikus Woro, menggugat pemerintah Provinsi Papua karena telah memberikan izin kelayakan lingkungan hidup kepada PT. Indo Asiana Lestari (IAL). Izin tersebut melingkupi lahan seluas 36.094 hektare dan merupakan hutan adat milik marga Woro yang merupakan bagian dari suku Awyu. Gugatan tersebut ditolak di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, harapan mereka berada di tangan Mahkamah Agung yang saat ini telah mencapai tahap kasasi.

Selain kasasi perkara dengan PT. IAL ini, sejumlah masyarakat adat suku Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT. Kartika Cipta Pratama (KCP) dan PT. Megakarya Jaya Raya (MJR), dua perusahaan sawit ini juga sudah dan akan melakukan ekspansi di Boven Digoel. PT. KCP dan PT. MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.

Pada lain sisi, suku Moi berkonflik dengan PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS). Perusahaan tersebut berencana akan membabat seluas 18.160 hektare hutan adat suku Moi untuk dijadikan perkebunan sawit. Pada awalnya PT. SAS memiliki konsesi atas 40 ribu hektare lahan di Kabupaten Sorong, Papua. Akan tetapi pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS dan izin usahanya pada 2022. Namun, PT. SAS menentang keputusan tersebut dan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta.

Dalam hal ini, masyarakat adat suku Moi turut melawan dengan mengajukan diri sebagai pihak yang terlibat dalam persidangan di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan awal pada Januari lalu, masyarakat adat suku Moi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 3 Mei 2024. Konflik ini juga terjadi lantaran proses pelepasan hak adatnya tidak melibatkan masyarakat adat selaku pemilik dari hutan adat tersebut. (Tempo, 2024)

Apabila konflik masyarakat suku adat dengan pemerintah dan perusahaan ini terus berlanjut, maka akan menimbulkan kerugian yang muncul sebagai akibat dari konflik yang berkelanjutan ini. Pertama, keberadaan perusahaan sawit PT. IAL dan PT. SAS dapat merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat. Kedua, hutan adat merupakan habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, sehingga masyarakat adat bisa kehilangan biodiversitas yang ada dalam hutan tersebut. Ketiga, pembukaan hutan yang sangat luas ini akan mengakibatkan pelepasan emisi karbon dalam jumlah yang besar. Keempat, operasi yang dilakukan oleh PT. IAL dan PT. SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer. Hal ini dapat memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air (Greenpeace Indonesia, 2024).

Dampak dari kerusakan lingkungan salah satunya adalah terjadinya bencana alam. Selama sepuluh tahun terakhir, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat peningkatan kejadian bencana ekologis hampir sepuluh kali lipat. Dari data yang dihimpun BNPB per enam bulan pada awal tahun 2024, sudah terjadi 860 kejadian bencana yang terjadi di seluruh Indonesia, baik bencana hidrometeorologi, geologi atau vulkanologi (BNPB, 2023).

Dalam hal ini, WALHI Papua mencatat, puncak dari kerentanan ekologis yang terjadi di tanah Papua itu terlihat dari kejadian bencana di awal tahun 2019 yang terjadi di Kabupaten Jayapura berupa banjir bandang dan air laut naik. Bencana tersebut kemudian disusul dengan terjangan siklon tropis Seroja yang melanda Kab. Yahukimo, Lani Jaya, Puncak, Nduga, dan di Kabupaten Paniai, kabupaten Nabire, Kabupaten Jayawujaya dan Kabupaten Dogiyai, Kota Sorong, Kota Jayapura, Kabupaten Merauke serta daerah-daerah di Pulau Papua. Banjir besar di Kabupaten Jayapura sentani menjadi alarm tanda bahaya darurat ekologis sebagai konsekuensi perusakan lingkungan Bumi Papua (Walhi, 2024). Walhi Papua menyebutkan bahwa perubahan iklim multidimensi tahun ini diperparah dengan pelonggaran kebijakan perlindungan terhadap lingkungan demi melayani kepentingan bisnis. Bahkan tahun ini merupakan tahun terpanas, meski terjadi fenomena la nina dan el nino. Dampak siklus basah la nina di sepanjang dua tahun belakangan ini mengakibatkan 763 kejadian lebih bencana (tanah longsor, banjir, gelombang pasang, dan puting beliung) yang membuat lebih dari 3 juta terdampak dan mengungsi (Walhi, 2024).

Hutan Papua merupakan gutan terbesar yang masih ada di Bumi Pertiwi. Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), luas hutan Indonesia pada 2023 ditaksir mencapai 102,53 juta hektare (ha). Sebagian besarnya berada di Pulau Papua, yakni 33,12 juta ha atau 32,2% dari total luas tutupan hutan Indonesia. Hutan terluas berikutnya ada di Kalimantan, yakni 31,10 juta ha (30,3%). Kemudian di Sumatra luas hutannya 16,01 juta ha (15,6%), dan Sulawesi 10,86 juta ha (10,6%). Sementara luas hutan di Maluku 6,37 juta ha (6,2%), Jawa 2,77 juta ha (2,7%), dan Bali-Nusa Tenggara 2,3 juta ha (2,2%). Selama kurun waktu 2018 2022, pengurangan luas hutan terjadi di seluruh pulau besar Indonesia. Hutan yang hilang paling banyak berada di Pulau Kalimantan (BIG, 2023).

Hutan Papua kini mengalami ancaman serius akibat adanya aktivitas industri ekstraktif yang berfokus mengeruk sumber daya alam kerap digadang-gadang sebagai pendorong ekonomi yang mampu menguntungkan banyak pihak. Namun, industri seperti pertambangan dan perkebunan monokultur terbukti menimbulkan berbagai masalah lingkungan di wilayah sekitarnya. Di sisi lain, aktivitas ekstraktif tersebut juga belum mampu menjawab masalah ketimpangan antara wilayah perkotaan dan perdesaan, lantaran 70 persen uang hasil industri tersebut kembali ke para pemilik modal di Jakarta.

Sistem pembangunan sentralistik Indonesia menjadikan papua sebagai “tanah kosong”. Akibatnya terdapat 81 izin perusahaan sawit yang mengancam 1,4 juta hektare hutan masyarakat adat. pemerintah sebagai regulator dan para pelaku industri ekstraktif kerap melupakan environmental cost alias ongkos lingkungan yang ditimbulkan akibat industri ekstraktif. Perlu adanya upaya dari pemerintah untuk membuat konsep ekonomi yang inklusif melalui konsep Doughnut Economy yang menerapkan prinsip-prinsip ekonomi hijau yang ramah lingkungan dan mengedepankan kesejahteraan manusia.

Penelitian yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia dan Center of Economics and Law Studies (CELIOS) menunjukkan bahwa transisi ke ekonomi hijau mampu mengurangi ketimpangan ekonomi dalam 10 tahun penerapannya berkat pembangunan yang menyebar di daerah. Peralihan ini pun diprediksi mampu menyerap 19,4 juta tenaga kerja di sektor green jobs, meningkatkan pendapatan negara hingga tiga kali lipat, hingga mencegah korupsi di sektor ekstraktif (Greenpeace & Celios, 2023).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh World Wildlife Fund (WWF) mendapati bahwa 43 juta hektar hutan di seluruh dunia telah dibabat dalam 13 tahun terakhir. Fakta ini diungkap WWF pada Januari 2021 dalam laporan tentang deforestasi dunia. Dalam laporan tersebut, WWF mencantumkan 24 wilayah yang mereka sebut “deforestation front” atau wilayah wilayah yang sebagian besar hutannya berada dalam ancaman. (WWF, 2021). Deforestasi merupakan penyebab utama ancaman kepunahan keanekaragaman hayati dan bioversitas yang ada di alam.

Data yang diperoleh dari Auriga Nusantara menyebutkan bahwa kurun waktu dua dekade (2000-2022) tanah Papua kehilangan hutan alam mencapai 688.438 hektar. Pada 2023, Papua kehilangan 55.981 hektar hutan alam, dan Papua Selatan jadi provinsi penyumbang deforestasi terbesar di Tanah Cendrawasih ini mencapai 12.640 hektar (Auriga Nusantara, 2021).

Dalam skala nasional, data yang ditemukan Auriga Nusantara pada Maret 2024, menunjukkan bahwa deforestasi Indonesia kembali meningkat dari tahun sebelumnya mencapai 257.384 hektar, naik jadi 230.760 hektar pada 2023. Ironisnya, hampir semua deforestasi di Indonesia itu di kawasan hutan negara. Seluas 12.612 hektar dari temuan deforestasi 2023 itu berada di dalam 142 kawasan konservasi yang mayoritas berada di Papua. Sedangkan deforestasi di dalam kawasan konsesi sekitar 121.728 hektar. Angka deforestasi di dalam kawasan konsesi ini belum termasuk konsesi perkebunan tebu.

Usut punya usut deforestasi terencana ini sudah masuk dalam Forestry and Other Land Use (Folu) Net Sink 2030 sebagai suatu usaha utama Indonesia yang memenuhi komitmen melawan krisis iklim dalam Perjanjian Paris. Dalam Folu Net Sink 2030, pemerintah masih mengizinkan deforestasi atas nama “pembangunan besar-besaran dengan skema deforestasi terencana dan tidak terencana.”

Terdapat sekitar sekitar 1,5 juta hektar hutan alam di Papua masuk dalam deforestasi terencana, dan sangat berisiko melampaui target pemerintah dalam Folu Net Sink 2030. Alih alih ketahanan pangan dan pengembangan bioetanol untuk kurangi energi fosil, rencana perkebunan skala besar di Papua justru melanggengkan deforestasi dan berubah menjadi penyumbang emisi, memperparah kerusakan hutan konservasi tinggi, keanekaragaman hayati, hingga kelangsungan masyarakat adat (Mongabay, 2024).

Hutan adalah paru-paru dunia. Manusia menghirup oksigen (O2) dan mengeluarkan karbondioksida (CO2) untuk bernapas. Hutan dianggap sebagai paru-paru dunia karena kemampuannya untuk menghasilkan oksigen. Melalui proses fotosintesis, hutan mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang vital bagi kehidupan semua makhluk di planet bumi. Selain itu, polusi udara juga dapat berkurang berkat pepohonan di lingkungan hutan.

Di tengah maraknya kritik terhadap proyek food estate atau lumbung pangan yang di nilai belum berjalan secara maksimal, pemerintah justru akan melakukan ekstensifikasi food estate dengan tanaman tebu di Papua Selatan. Proyek food estate ini di rencanakan akan menggunakan lahan seluas 2 juta hektar dengan tahap awal seluas 60 ribu hektar yang akan ditanami tebu. Target swasembada gula konsumsi nasional pada 2028 dan gula industri pada 2030, dimanfaatkan untuk membuat produksi gula dalam negeri dengan skala besar. Tak hanya itu, food estate tebu ini juga akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nabati, bioetanol. Dalam artian, ini tidak hanya untuk kepentingan ‘food’ tapi juga untuk “industri energi”.

Pemerintah berencana untuk mendorong produksi bahan bakar nabati seperti biodiesel, bioetanol, dan bioavatur. Pola ini mengingatkan pada tata kelola sawit yang tidak teratur dan mengakibatkan kelangkaan minyak goreng di 2022 lalu. Hal ini di khawatirkan pada praktiknya nanti, produksi tebu justru banyak diserap untuk kebutuhan energi ketimbang pangan. Dalam jangka waktu tertentu, maka kelangkaan dan melonjaknya harga gula sangat mungkin terjadi, jika tata kelola dan pembagian konsumsi tebu untuk kebutuhan pangan dan energi tak diatur dengan baik sejak awal.

Pembuatan bioetanol berpotensi menghasilkan limbah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jiangfeng Huang (2020), menjelaskan bahwa tebu dapat menghasilkan residu limbah sebesar 17 ton/ha. Jika dilihat dari pembukaan awal 60 ribu hektar, maka sedikitnya akan menghasilkan limbah sekitar 1.020 ton. Hal ini tentunya berdampak besar terhadap lingkungan, mengingat di Indonesia pemusnahan limbah tebu hanya dibakar.

Ambisi pemerintah untuk mendorong perambahan hutan yang lebih banyak lagi untuk dijadikan proyek food estate tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Peraturan ini dikeluarkan karena kurangnya kawasan non hutan untuk pembangunan food estate. Peraturan ini justru akan melegalkan deforestasi, karena akan membuka lahan baru dan akan merusak lingkungan. Deforestasi akan berdampak kepada krisis iklim yang sedang dihadapi dunia global. Proyek food estate ini dikhawatirkan akan menimbulkan konflik lahan yang merampas hak-hak masyarakat adat dan lokal yang mendiami wilayah ini (Satya Bumi, 2024).

Oleh karena itu, dalam hal ini Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta mendesak dan menuntut pemerintah untuk segera melakukan evaluasi dan perbaikan, diantaranya :

1. Berikan jaminan hidup yang layak dan aman bagi masyarakat adat dan pribumi

2. Wujudkan mitigasi resiko kerusakan lingkungan dan bencana alam secara baik dan benar

3. Membangun kekuatan politik rakyat dan agenda politik atau investasi hijau guna memastikan terwujudnya keadilan ekologis bagi generasi hari ini dan generasi yang akan datang

4. Menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) agar meninjau ulang Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Perizinan yang telah ada.

5. Berikan pengarahan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas Kemenkomarves agar menyusun kerangka Pembangunan Tanah Papua secara menyeluruh, dengan memasukkan komponen perlindungan hutan sebagai sumber hidup dan juga perlindungan hak-hak masyarakat adat

6. Menuntut konsep pembangunan ekonomi Papua berdasarkan aspirasi masyarakat adat di Tanah Papua, termasuk menggerakkan alternatif ekonomi yang bersumber dari industri yang tidak merusak lingkungan.

7. Adili dan hukum instansi, perusahaan, lembaga, badan atau korporasi yang melakukan pelanggaran atau penyelewengan hukum yang menyebabkan kerugian pada manusia atau alam sesuai dengan undang-undang yang berlaku 8. Wujudkan konsep ekonomi hijau inklusif yang ramah lingkungan dan mengedepankan kesejahteraan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Auriga Nusantara (2021). Menatap Ke Timur : Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua. Diakses pada 6 Juni 2024, dari https://auriga.or.id/flipbooks/report/id/71#page/1.

Badan Informasi Geospasial (BIG) (2023). Diakses pada 6 Juni 2024, dari https://www.instagram.com/p/C360wAkNvpn/?igsh=anA5eDY0MHBpemIz

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Perubahan Iklim Picu Peningkatan Kejadian Bencana. Diakses pada 5 Juni 2024, dari https://www.bnpb.go.id.

Badan Pusat Statistik (2022). Angka Deforestasi (Netto) Indonesia di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2013-2022 (Ha/Th). Diakses pada 6 Juni 2024, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/1/MjA4MSMx/angka-deforestasi–netto–indonesia di-dalam-dan-di-luar-kawasan-hutan-tahun-2013-2022–ha-th-.html

Greenpeace & Celios (2023). Policy Brief : Dampak Transisi Ekonomi Hijau Terhadap Perekonomian, Pemerataan, dan Kesejahteraan Indonesia. Diakses pada 6 Juni 2024, dari https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia-stateless/2023/12/5325e354 policybook-1_compressed.pdf.

Greenpeace Indonesia (27 Mei 2024). Suku Awyu dan Moi Gelar Aksi Damai di Mahkamah Agung, Serukan Penyelamatan Hutan Adat Papua. Diakses pada 5 Juni 2024, dari https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/58406/suku-awyu-dan-moi-gelar-aksi damai-di-mahkamah-agung-serukan-penyelamatan-hutan-adat-papua/.

Perumahan dan Kawasan Pemukiman (Perkim) (6 September 2023). Profil Provinsi : PKP Papua. Perkim.id.. Diakses pada 5 juni 2024, dari https://perkim.id/profil-pkp/profil provinsi/profil-perumahan-dan-kawasan-permukiman-provinsi papua/#:~:text=Provinsi%20Papua%20terbagi%20dalam%2028,atau%20seluas%2047.406% 2C90%20km2.

Saturi, S., Perkebunan Tebu Jutaan Hektar, Bagaimana Nasib Hutan Papua?. Mongabay (Mei, 2024). Diakses pada 6 Juni 2024, dari https://www.mongabay.co.id/2024/05/06/perkebunan tebu-jutaan-hektar-bagaimana-nasib-hutan-papua/amp/.

Satya Bumi (2024). Pernyataan Sikap Satya Bumi: Food Estate Tebu di Papua Selatan, Solusi Semu Ketahanan Pangan. Diakses pada 6 Juni 2024, dari https://satyabumi.org/pernyataan sikap-satya-bumi-food-estate-tebu-di-papua-selatan-solusi-semu-ketahanan-pangan/.

Tempo (5 Juni 2024). Seruan All Eyes on Papua, Kenapa Kita Harus Peduli?. Diakses pada 5 Juni 2024, dari https://metro.tempo.co/amp/1876039/seruan-all-eyes-on-papua-kenapa-kita harus-peduli.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua. Tanah Papua Adalah Rumah Kita!. Diakses pada 5 Juni 2024, dari https://walhipapua.org/2024/05/25/walhi-papua-tanah-papua adalah-rumah-kita/.

World Wildlife Fund (WWF) (2021). Global deforestation is advancing on 24 fronts, nine are in Latin America and one of them in part of Central America. Diakses pada 6 Juni 2024, dari https://www.wwfca.org/en/?365724/Global-deforestation-is-advancing-on-24 fronts#:~:text=In%20the%20last%2013%20years,by%20the%20Living%20Planet%20Index.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *