Refleksi Hari Lahir Pancasila : Antara Idealisme Keadilan Sosial dan Realitas Ketimpangan Sosial

Refleksi Hari Lahir Pancasila : Antara Idealisme Keadilan Sosial dan Realitas Ketimpangan Sosial
  • Sejarah Lahirnya Pancasila

Secara etimologis, Pancasila terdiri dari dua kata, yakni “Panca” yang berarti lima dan “Sila” yang berarti dasar. Sebagai dasar atau falsafah yang terinstitusikan secara formal, Pancasila pertama kali diperkenalkan di hadapan sidang BPUPKI. Badan yang beranggotakan 70 orang ini mulai bekerja pada 29 Mei 1945. Mereka memulai rapat pertamanya dengan agenda penentuan dasar negara. Terdapat tiga tokoh yang turut mengemukakan pendapatnya. Dimulai dari Muhammad Yamin yang menyampaikan pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945, dilanjutkan oleh Mr. Soepomo pada tanggal 31 Juni, dan Soekarno pada tanggal 1 Juni. Usulan dari ketiga tokoh ini pun ditindaklanjuti pada rapat kedua BPUPKI dengan membentuk Panitia Sembilan yang bertugas mengkristalkan berbagai pandangan tentang dasar negara. Melalui rapat yang intensif sejak tanggal 14-16 Juli 1945, panitia Sembilan kemudian melahirkan Piagam Jakarta yang didalamnya terdapat lima dasar dalam bernegara.

Latar belakang inilah yang kemudian menimbulkan perdebatan tentang tepat atau tidaknya penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Sebagai sebuah istilah, Pancasila memang diperkenalkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni. Menurut beliau, istilah yang memiliki arti lima dasar itu adalah atas saran temannya yang ahli Bahasa. Uniknya, sampai saat ini belum diketahui siapa teman yang memberi saran tersebut kepada Soekarno. Di sisi lain, terdapat dua tokoh yang menyampaikan pandangannya terlebih dahulu daripada Soekarno, dengan pandangan yang sangat substansial dalam upaya penentuan dasar negara.

Terlepas dari perdebatan itu, Keppres No. 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila telah dengan tegas menjadi penentu yuridis bahwa negara telah mengakui hari lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni (oleh sebagian orang, Keppres di atas dianggap sebagai manuver yang politis dan bernuansa Sukarnosentris). Lebih lanjut, perdebatan tersebut kiranya bukanlah perdebatan yang substansial. Karena sejatinya, selain sebagai sebuah istilah, Pancasila bukanlah hal baru dalam dinamika kehidupan masyarakat di wilayah Nusantara. Prinsip ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, persatuan, musyawarah, dan keadilan telah ada sejak lama sebelum berdirinya republik ini. Sehingga kemudian menjadi benar jika Soekarno mengatakan “Saya menggali Pancasila dari buminya Indonesia”. Beliau dan para tokoh bangsa adalah penggali nilai-nilai yang sudah sejak lama mengakar di ibu pertiwi sebelum ada Pancasila. Akan lebih menarik jika kemudian dinamikai perdebatan ialah pada bagaimana nilai-nilai idealis Pancasila berhadapan dengan realitas yang ada.

  • Peran dan Fungsi Pancasila

K.H.R Ass’ad Syamsul Arifin, a national hero from Situbondo, once said, “Pancasila, as the foundation and philosophy of the Indonesian state, must be obeyed, practiced, defended, and preserved.” This quote illustrates the basis and importance of Pancasila in the establishment and running of this country. Pancasila, as the national ideology (Philosopische Grondslag), at the very least, serves as a guide for the lives and behaviors of the Indonesian people in navigating the dynamics of their lives. Similarly, as the foundation of the state, it is mandatory for all aspects of governance and the processes involved, including the economy, law, politics, education, and other aspects, to refer to the principles and goals desired by Pancasila. The existence of Pancasila, apart from being the central axis, also serves as the judge that provides the benchmark by which the success or failure of the state is measured in carrying out its functions and duties.

  • Memahami Keadilan dan Ketimpangan Sosial

Pengertian tentang keadilan telah banyak dikemukakan oleh ahli, namun pada substansinya adalah sikap moral yang benar terkait pola hubungan antara masyarakat dengan sesamanya dan hubungan antara masyarakat dengan negara. Keadilan sosial dalam pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai suatu keadaan yang memungkinkan setiap individu dan kelompok dalam masyarakat dapat berkembang secara maksimal, sehingga tekanan pada individu diletakkan dalam dimensi sosial atau komunalnya. Dalam hal ini, Pancasila sebagai sebuah dasar negara menawarkan konsep-konsep, antara lain “keadilan sosial”. Terdapat pula problematika konkret seperti ketimpangan sosial dan kemiskinan struktural yang perlu diperhatikan. Dalam rangka upaya pengilmuan, konsep tersebut harus diarahkan pada tujuan menciptakan masyarakat yang berkeadilan, bukan pada kepentingan yang bersifat instrumental. Sebagai sebuah dasar negara, Pancasila harus terhindar dari segala macam bentuk penyelewengan yang dimotivasi oleh kepentingan instrumental dan mampu menjawab problematika sosial secara riil.

Sedangkan pengertian Ketimpangan sosial adalah keadaan di mana terdapat kesenjangan atau perbedaan sumber daya yang ada di antara masyarakat. Ketimpangan dapat dipengaruhi oleh banyak aspek seperti ekonomi, status sosial, politik, akses pendidikan dll. Dengan melihat pengertian keadilan sosial, maka ketimpangan sosial bisa kita sepakati sebagai kontra dari keadilan sosial. Adanya ketimpangan sosial dapat memberikan berbagai dampak buruk bagi masyarakat, di antaranya adalah sebagai salah satu pemicu meningkatnya kriminalitas dan tentu akan mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat. Selain dari itu, ketimpangan juga dapat menjadi penghambat proses demokratisasi sosial. Ketimpangan akan mendistorsi bagaimana pelaku politik dan institusi terkait merespons masyarakat yang memiliki pendapatan dan status sosial yang berbeda. Boix berpendapat bahwa demokratisasi lebih mungkin terjadi ketika ketimpangan rendah.

Approaching political years, Pancasila is often used as a political instrument by both the state and interest groups. The state, referred to by Gramsci as the “political society,” as well as interest groups referred to as the “civil society,” often use Pancasila as a tool for domination and hegemony to gain power. In this regard, Pancasila as the foundation of the state becomes an ideology with paradoxical implications. Pancasila seems to become a myth, rather than using the vision of social justice to create a just society, the principles within Pancasila are often used for instrumental interests.

  • Menelisik Problematika Ketimpangan Sosial di Provinsi DIY

Berdasarkan survei BPS pada September 2022, Daerah Istimewa Yogyakarta masih mencatat diri sebagai provinsi dengan tingkat ketimpangan sosial tertinggi di Indonesia. Pada bulan Maret 2022, tingkat rasio Gini di daerah perkotaan mencapai 0,446. Angka tersebut mengalami peningkatan menjadi 0,468 pada September 2022. Sedangkan untuk daerah pedesaan, tingkat kesenjangan yang semula 0,332, meningkat menjadi 0,342. Dengan meningkatnya rasio Gini dalam rentang waktu enam bulan tersebut, menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan di provinsi DIY semakin meningkat.

Yang menarik dari hasil survei BPS perihal tingginya indeks Gini di Yogyakarta, akan tetapi angka harapan hidup dan kebahagiaan juga tinggi. Tingginya harapan hidup dan taraf kebahagiaan warganya ditopang dengan keajegan budaya feodalisme di Yogyakarta yang senantiasa menggulirkan budaya lokal, salah satunya prinsip Nrimo (menerima) atau Nrimo Ing Pandum. Prinsip, budaya tersebut dalam sisi yang lain justru menimbulkan polemik, sebab prinsip menerima apa adanya, ikhlas atau Nrimo Ing Pandum sifatnya permisif terhadap kemiskinan. Kemiskinan bukan merupakan sebuah keniscayaan yang bisa diterima, melainkan harus ada tindakan intervensi kebijakan di dalamnya. Ekonom Bhima Yudhistira mengatakan bahwa salah satu tindakan intervensi yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketimpangan di Yogyakarta adalah kenaikan upah minimumnya.

Dengan tingginya ketimpangan di Yogyakarta, jangan-jangan Pancasila tidak benar-benar ada? Sebab jika Pancasila itu ada, maka kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan sejatinya tidak akan eksis di bumi Indonesia atau di Yogyakarta. Hari kelahiran Pancasila seharusnya dapat menjadi momentum bagi upaya pengilmuan Pancasila di tengah-tengah ketimpangan sosial. Meminjam istilah Kuntowijoyo, “pengilmuan” adalah upaya untuk melakukan demistifikasi dan objektivisasi dari suatu pandangan dunia, agar pandangan dunia tersebut dapat mampu berdialog dengan realitas dan memberi orientasi bagi praksis sosial. Konsep-konsep dari suatu pandangan dunia harus memberi inspirasi dan disublimasikan dalam praktik guna memerdekakan masyarakat dari ketidakadilan yang ada.

  • Bagaimana Pendapatmu !?

Redaksi

Dikelola oleh Bidang Media dan Komunikasi HMI Cabang Yogyakarta Periode 2023-2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *