TAPERA DALAM KETIDAKADILAN, MEMOTONG GAJI KARYAWAN PASCA TERGANTINYA UNDANG-UNDANG BARU .
Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan beserta hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.
Peserta Tapera yang memenuhi kriteria dapat menggunakan dana pemanfaatannya untuk pembiayaan perumahan seperti pemilikan rumah, pembangunan rumah dan perbaikan rumah yang merupakan rumah pertama, hanya diberikan satu kali, dan mempunyai nilai besaran tertentu tiap-tiap pembiayaan perumahan. Hal ini dapat berupa rumah tunggal, rumah deret, rumah susun, atau lainnya yang setara.
Dalam pengelolaan Tapera terdapat tiga skema yakni pertama pengerahan dana Tapera, pemupukan dana Tapera dan pemanfaatan dana Tapera.
Tapera adalah salah satu Solusi pembiayaan rumah jangka Panjang di Indonesia. Dengan adanya Tapera, pemerintah berharap dapat membangtu para pekerja untuk memilih rumah sendiri. Program ini menarik perhatian banyak pihak, tetapi masih banyak yang belum memahami sepenuhnya bagaimana mekanisme dan manfaat Tapera yang ditawarkan.
Pemerintah berharap tapera dapat membantu pembiayaan perumahan bagi para pekerja. Dengan berbagai syarat dan ketentuan yang ditetapkan, program ini menawarkan kesempatan bagi mereka yang belum memiliki rumah untuk mendapat bantuan pembiayaan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang mengatur tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam PP tersebut, gaji pekerja di Indonesia seperti PNS, karyawan swasta dan pekerja lepas (freelancer) akan dipotong untuk dimasukkan ke dalam rekening dana Tapera.
Pasal 5 PP 21/2024 ini menjelaskan bahwa peserta Tapera adalah para pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.
Pada tanggal 20 Mei 2024, pemerintah Kembali menetapkan PP Nomor 21 Tahun 2024. PP ni merupa-kan perubahan atasPP Nomor 25 Tahun 2020, yang bertujuan menyempurnakan aturan sebelumnya. Salah satu poin penting dalam perubahn ini adalah penyesuaian perhitungan besaran simpanan Tapera bagi pekerja Mandiri atau freelancer. Ini merupakan komitmen pemerintah untuk memastkan bahw semua pekerja, baik yang bekerja pada Perusahaan maupun yang bekerja secara mandiri, dapat berpartisipasi dalam program ini dengan adil.
Tapera sebenarnya sudah digagas oleh pemerintah sejak tahun 2016 Tabungan Perumahan Rakyat. Dalam undang-undang tersebut, Tapera didefinisikan sebagai penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodic dalam jangka waktu tertentu. Dana yang disimpan hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan beserta hasil pengembangannya setelah kesepakatan berakhir. Hal ini memastikan bahwa tujuan utama dari Tapera adalah membangtu peserta memiliki tempat tinggal yang layak.
Secara sederhana, Tapera dapat disimpulkan sebagai iuran yang dibayarkan oleh peserta untuk membiayai kebutuhan perumahan. Besaran iuran Tapera adalah sebesar 3% dari gaji pekerja. Dari jumlah ini, 0,5% di tanggung oleh pemberi kerja, dan 2,5% ditanggung oleh gaji pekerja. Dengan kata lain, 2,5% daei gaji pekerja akan dipotong setiap bulannya untuk iutan Tapera. Bagi pekerja mandiri atau freelancer, iuran 3% tersebut harus di tanggung sepenuhnya oleh mereka sendiri. Ini berarti mereka harus lebih bijaksana dalam mengelola keuangan mereka unutuk memastikab bahwa mereka dapat memenuhi kewajiban iuran Tapera setiap bulannya.
Melalui program Tapera, pemerintah berharap dapat memberikan Solusi jangka Panjang bagi permasalahan perumahan di Indonesia, serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup para pekerja.
Tak Peka Realita
Bicara tempat tinggal, negara telah menjamin sebagai hak kesejahteraan setiap orang sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 28H ayat 1 yang berbunyi “setiap orang berhak hidup Sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hdup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan”
Meskipun telah berjuang dalam konstitusi kita, hak bertempat tinggal tersebut faktanya belum sepenuhnya didapatkan oleh setiap warga negara. Tercatat, menurut data PT Bank Tabungan Negara Tbk., sebanyak 12,7 juta keluarga Indonesia belum memilki rumah. Sementara dari total keseluruhan 56,5% rumah tangga yang memiliki rumah layak huni, sedangakn 43,5% rumah tangga di Indonesia belum memiliki rumah layak huni berdasarkan definisi Kementrian PUPR.
Untuk kebijakan subsidi, tentu tidak pernah menjadi masalah dinegeri ini. Tetapi skema Tabungan Masyarakat ternyata mengundang respons penolakan dari public khususnya setelah Presiden Joko Widodo menekankan PP No. 21 tahun 2024 Tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 Tentang penyelenggaraan Tabunga Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2024 lalu.
Penolakan Publik
Tapera sendiri sebenarnya bukan program yang baru, melainkan trmasformasi dari program seblumnya, yaitu Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (TARUMAPNS) pada tanggal1993melalui Keprs No. 14 Tahun 1993. Pada 2016, UU. Nomor 4 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat disahkan dan menjadi produ kebijakan baru menggantikan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil.permasalahan tersebut kemudian muncul: sejak UU. Nomor 4 Tahun 2016 disahkan, kpesertaan diperluas menjadi bukanhanya untuk golongan PNS melainkan juga pekerja baik itu swasta maupun mandiri, Berikut juga pemberi kerja. Dengan kata lain, pekerja non-PNS juga akan merasakan pemotongan 2,5% upah untuk pekerja swasta, dan 3% upah untuk pekerja mandiri, serta 0,5% untuk pemberi kerja.
Isu utama penolakan bebagai macam. Dari kalangan pekerja, Isu utama datang dari kedua golongan, yaitu pekerja Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) maupun non-MBR. Bagi pekerja MBR, tentunya pemotongan upah 3% akan semakin menekankan hidup mereka ditengah kenaikan UMR yang ala kadarnya, ditambah harus ada pemotongan Tapera dan program-program jaminan sosial lainnya, akan semakin tertekan khususnya oleh kanikan inflasi.
Disamping semua itu, jaminan untuk mendapatkan rumah dikemudian hari pun rasanya kecil. Pekerja MBR pun berhitung, berpaa Tabungan yang akan mereka punya pada masa pensiun dan bagaimana dengan kondisi harga rumah pada saat Tabungan tersebut dapat diikuidasi? Bagi pekerja non-MBR, isu terfoku pada asas manfaat dari adanya program Tapera tersebut. Pemotongan gaji atau upah yang mereka setorkan setiap bulan akan menjadi apa di kemudian hari? Sementara mereka baru dapat melikuidasi tabungannya saat telah memasuki usia pensiu. Meskupun nantinya muncul predikat “penabung mulia”, rasanya tidak akan berdampak apa-apa bagi pekerja non-MBR dari segi manfaat program ini.
Alasan penolakan lainnya juga muncul dari pemberi kerja. Bahan 0,5% tentunya akan muncul sebagai pembiayaan baru bagi usaha. Artinya, hal tersebut akan mengganggu jalannya produktivtas usaha dala mengingat munculnya bebantanggungan baru. Pemotongan Tapera tesebut akhirnya dinilai memberatkan semua pihak baik itu pekerja maupun pemberi kerja. Ditambah lagi, public saat ini sedang dilanda oleh masalah kepercayaan (trust issues) terhadap tata Kelola institusi pengelolaan dana oleh pemerintah mengingat banyaknya kasus korupsi yang selama ini terjadi seperti misalnya kasus Jiwasraya dan Asabri.
Biaya kebutuhan pokok seringkali menjolak. Begitu juga isu biaya Pendidikan, namun dengan adanya program Tapera justru akan semakin membuat kelompok MBR yang menjadi sasaran utamanya semakin terhimpit. Belum lagi masalah tata Kelola institusi pengelolaan dana oleh pemerintah yang selama ini belum mampu secara penuh mendapatkan kepercayaan Masyarakat.
Selagi pemberlakuan program Tapera ini selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada 2027, tidak ada salahnya jika pemerintah mempertimbangkan berbagai macam penolakan public tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan untuk menuntaskan masalah backlog yang terjadi dengan lebih memahami apa yang menjadimasalah utama (main issue) dan lebih mempertimbangkan realita kehidupan Masyarakat alaih-alaih memaksakan program yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat yang pada akhirnya menghambat roda perekonomian sosial.
(Renaldo Gizind pekerja mandiri)
Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko menegaskan jika Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah simpanan yang tidak akan hilang, bukan merupakan iuran ataupun potongan penghasilan.”Tapera ini bukan potong gaji, bukan iuran. Tapera ini adalah tabungan. Diatur dalam Undang-Undang,” kata Moeldoko dalam konferensi pers di Kantor Staf Presiden, Jumat (31/5/2024) di Jakarta.
Presiden Joko Widodo dikatakan Moeldoko sejak awal bekerja telah menjalankan reformasi di sektor sistem jaminan kesejahteraan sosial. Banyak yang kemudian ditangani seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, termasuk program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Peruahan (FLPP.
“Itu semua dilakukan karena pemerintah ingin selalu hadir di dalam setiap situasi yang tengah dihadapi masyarakatnya, khususnya dalam persoalan-persoalan yang terkait dengan sandang, pangan, dan papan,” ujar Moeldoko.
Penyediaan perumahan bagi masyarakat adalah amanat konstitusi karena ada undang-undangnya, yaitu Undang-undang No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman dan Undang-undang No. 4 tahun 2016 tentang Tapera. Tapera ini dikatakan Moeldoko sesungguhnya perpanjangan dari Bapetarum yang dahulu dikhususkan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN). Sehingga saat ini diperluas kepada pekerja mandiri dan swasta.
“Kenapa diperluas, karena ada problem backlog atau defisit perumahan yang dihadapi pemerintah hingga saat ini dan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 9,9 juta masyarakat Indonesia masih belum memiliki rumah. Jadi ini bukan ngarang,” tegas Moeldoko.
Pemerintah kemudian dikatakan Moeldoko menyimpulkan bahwa antara jumlah kenaikan gaji dan inflasi di sektor perumahan tidak seimbang. “Untuk itu harus ada upaya keras agar masyarakat pada akhirnya, walaupun terjadi inflasi tapi masih bisa punya tabungan untuk memiliki atau membangun rumah sendiri,” jelas Moeldoko.
Salah satu caranya adalah dengan skema yang turut melibatkan pemberi kerja, swasta maupun pemerintahan. “Kita perlu memahami bahwa persoalan perumahan dan kemudian muncul mekanisme ini tidak hanya dialami Indonesia. Malaysia misalnya juga memiliki skema layaknya Tapera ini. Ini menurut saya merupakan tugas negara,” jelasnya.
Pada kesempatan tersebut Moeldoko pun berharap masyarakat bisa memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk bekerja, memikirkan cara yang terbaik salah satunya untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat.
Meski begitu pemerintah dipastikan Moeldoko akan terus melakukan dan membuka ruang-ruang komunikasi dan dialog dengan masyarakat maupun dunia usaha. Hal ini karena Tapera baru akan diterapkan pada 2027 mendatang.”Kita masih ada waktu hingga 2027. Jadi ada kesempatan untuk konsultatif, tidak usah khawatir,” tegasnya.
Hingga sebelum diterapkan nanti pemerintah juga membangun sistem pengawasan keuangan untuk memastikan dana Tapera dikelola dengan baik, akuntabel, dan transparan. Pengawasan salah satunya dilakukan melalui Komite Tapera, yang ketuanya adalah Menteri PUPR, dengan anggota Menteria Keuangan (Menkeu), Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan kalangan Profesional. “Saya ingin sampaikan kepada teman-teman, pemerintah ingin memastikan Tapera tidak mengalami hal yang seperti ASABRI. Dengan dibentuknya komite Tapera, saya yakin pengelolaannya akan lebih transparan, akuntabel, karena semua bentuk investasi tapera ada yang kontrol yakni Komite dan OJK,” ujar Moeldoko.
Tapera adalah mekanisme penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu dan hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan atau akan dikembalikan berikut hasil tabungannya ketika pekerja memasuki masa pensiun. Tujuan dari mekanisme ini adalah menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang dan berkelanjutan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan pembiayaan perumahan.
Peserta Tapera adalah para pekerja dan pekerja mandiri yang penghasilannya paling sedikit sebesar upah minimum. Semua peserta diwajibkan membayarkan iuran, namun hanya peserta dengan kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang bisa memanfaatkan pembiayaan Tapera. Sedangkan non MBR hanya bisa dan berhak menerima simpanan dan hasilnya saat pensiun.
GELOMBANG KRITIK DAN PENOLAKAN.
BP Tapera sendiri menjelaskan program ini dilakukan demi menekan angka kesengjangan kepemilikan rumah yang dalam catatan mencapai 9,95 juta orang atau keluarga. Untuk itu, program ini dinilai perlu untuk dilancarkan. Banjir kirtik riuh bermunculan menyambut aturan soal iuran baru program Tabungan Perumahan Raktyat. Sejak pekan lalu, penolakan dan pertanyaan lebih banyak muncul ketimbang kejelasan soal program yang dijalankan oleh BP tapera ini.
Sekedar pengingat, Presiden Joko Widodo menekan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
Berdasarkan belied itu, besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah untuk peserta dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Rinciannya 0,5% ditanggung pemberi kerja dan 2,5% ditanggung pekerja.
Heru menjelaskan, saat ini di 12 provinsi Indonesia Masyarakat masih kesulitan mendapatkan rumah dengan harga yang terjangkau. Menurutnya, ini dilihat dari penghasilan Masyarakat diprovinsi tertentu.
“Ini konsekuensi dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, pak Kepala Staf Kepresidenan (Moeldoko) sudah menyampaikan kesenjangan kepemilikan rumah ini sangat tinggim, saat ini 9,95 juta orang atau keluarga tidak memiliki rumah” ujar Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho dalam konferensi pers dikantor staf presiden (KSP) di Jakarta.
“Di beberapa provinsi yang populasinya tinggi seperti Jawa dan Bali angka keterjangkauan residensialnya sudah diatas lima atau sangat tidak terjangkau. Permasalahan ini terjadi di hamper semua segmen baik masyrakat berpendapatan rendah (MBR), kelas menengah maupun pekerja keras atas” jelasnya.
Heru menuturkan, pihaknya menghitung terdapat adanya selisih Rp.1 juta bila menjadi peserta Tapera dibandingkan menyicil rumah secara komersil. Ini jika peserta mengambil rumah susun dengan harga Rp.300 juta. Pihaknya mengilustrasikan, jika seseorang mengambil Kredit Perumahan Rakyat (KPR) lewat komersial, angsurannya mencapai Rp.3,1 juta. Sementara bila menjadi peserta Tapera hanya mengangsur sebesar Rp. 2,1 juta dan ini sudah termasuk dengan uang Tabungan.
“Kalau KPR Tapera itu hanya Rp.2,1 juta per bulan itu sudah termausuk Tabungan sebelum mendapat benefit atau manfaat, peserta harus nabung untuk menunjukkan kemampuan kapasitasnya dalam mengangsur” terang dia.
Heru bilang, Tapera hadir untuk meningkatkan kemampuan Masyarakat dalam menjangkau harga rumah tersebut melalui penurunan suku bunga. Dimana, peserta Tapera mendapatkan suku bunga flat sebesar 5%, sedangkan jika mengambil ciclan KPR komersil bunganya sebesar 11% dengan tenor masing-masing selama 20 tahun. “Jadi secara tidak langsung dengan menjadi peserta Tapera dia nabung setahun, mengajukan KPR itu meningkatkan bankability dari peserta. Benefit ini lebih hemat sekitar Rp,1 juta per bulan disbanding KPR komersial yang kita pergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya dari peserta” tandasnya.
Gelombang kritik pun bermunculan baik dari kalangan pekerja, pengusaha, hingga ekonomi Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Saepul Tavip misalnya yang menyebut iuran Tapera akan makin memberatkan pekerja. Menurutnya, selama ini upah pekerja rata-rata hanya naik 4% per tahu, namun beban yang diemban lebih berat. Dia menggambarkann dengan upah sebesar Rp.5 juta dan upah minimum (UM) naik 4%, berarti upah pekerja naik Rp.200.000 menjadi Rp.5,2 juta. Namun, tiap bulan harus dipotong iuran Tapera sebesar 2,5% atau sekitar Rp.130.000. jadi kata Saepul, upah pekerjanya hanya naik Rp. 70.000 per bulan.
“Sementara inflasi lebih dari 4%, jadi dipastikan upah ini rill buruh semkin terpuruk”, kata Saepul.
Padahal masih ada beberapa tanggunggan jaminan terdahulu yang perlu dibayarkan pekerja. Yakni Jaminan Kesehatan sebesar 1% dan Jaminan Pensiun sebesar 1%. Sementara Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyebut kebijakan iuran Tapera tidak tepat jika dijlanakan saat ini. Said menyebut, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera. Terlebih soal kepastian memperoleh rumah buruh dan peserta Tapera setelah bergabung dengan program tersebut. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.
Said pesimistis soal kecukupan dana yang dikumpulkan tersebut. Menurutnya, mustahil dengan angka pungutan 3% bisa membantu peran pemerintah yang minim. Sebab, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh. Dia menilai hal tersebut tidak adil karena rumah adalah tanggung jawa negara dan menjadi hak rakyat. Bukan malah buruh disuruh bayar 2,5% dan pengusaha membayar 0,5%.
Dari kalangan pengusaha, Ketua Komite Tetap Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Chandra Wahjudi menyebut, keberatan dengan pemberlakuan kebijakan tersebut lantaran menambah beban bagi pemberi kerja dan pekerja. Menurut Chandra, beban pembiayaan yang ditanggung para pemberi kerja sudah terlalu besar, lebih-lebih apabila ditambah dengan kewajiban Tapera sebesar 0,5%.
Senada dengan buruh, ia menyebut pengusaha selama ini sudah dibebani oleh berbagai program mulai dari Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian. Menrurtnya iuran tambahan Tapera berpotensi mengancam produktivitas usaha. “Jika ditambahkan iuran Tapera yang mana fake home pay pekerja akan berkurang 2,5% dan bagi pengusaha ekstra biaya 0,5% dari penghasilan pekerja ini berpotensi menurunkan produktivitas kegiatan usaha” tambahnya.
Chandar bilang, sebaiknya pemerintah focus dalam mengoptimalkan program-program yang sudah ada seperti Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek yang sudah menyediakan Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan Pekerja. Selain itu, dia menyatakan optimalisasi juga diperlukan dalam pengelolaan BPJS ketenagakerjaan untuk memberikan manfaat lebih bagi Masyarakat.
Melihat hal ini, pengamat kebijakan public, Trubus Rahardiansyah menilai kebijakan sangat membebani buruh, karyawan hingga pemberi kerja karena harus menanggung 3% dari dananya untuk program tersebut. Dia tak memungkiri kebijakan ini ada niat baik dari pemerintah untuk Masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah, namun kata dia, aturan ini dikeluarkan tanpa ada sosialisasi ke publik yang kemudian menimbulkan tanda tanya besar terkait implementasinya. Lebih lanjut, Trubus menambahkan, aturan ini dikhawatirkan dampaknya akan melebar salah satunya ke penciptaan lapangan kerja. Sebab orang-orang yang akan membukan usaha bakal ada beban baru.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai tujuan pemerintah belum jelas jika ingin mengatasi masalah backlog rumah. Ia justru melihat dibalik kebijakan ini, ada maskud sebenarnya pemerintah ingin berinvestasi. Pasalnya salah satu beleid Tapera adalah dana uyang dikumpulkan dari peserta akan dikelola ke dalam beberapa protofolio investasi, yaitu obligasi korporasi, SBN, dan deposito. Menurut Nailul hal ini akan memudahkan pemerintah untuk menerbitkan SBN karena bisa dibeli oleh badan pemerintah, termasuk BP Tapera melalui uang Masyarakat “pemerintah ingin menaikkan bunga SBN, tentu jadi beban utang. Ketika swasta enggan investasi di SBN, badan pemerintah jadi solusinya. Salah satu pejabat BP Tapera adalah Menkeu yang punya kepentingan untuk penyerapan SBN.” Kata Nailul.
Disisi lain ada berlakunya kebijakan yang berdampak kepada ekonomi. Secara umum, konsumsi ma-asyrakat aka nada yang hilang karena ada bagian pendapata bahwa hal tersebut disetorkan ke negara lewat Tapera sehingga dapat mengurangi konsumsi Masyarakat. “pada akhirnya konsumsi akan tertekan berpengaruh ke PDB. Pertumbuhan ekonomi akan terbatas. Jadi ada efek kontradiktif dari kebijakan Tapera ini terhadap ekonomi kita” kata Nailul
Selain itu, analisis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita menilai kebijakan Tapera ini harus dikaji ulang. Apalagi ia menyoroti kata Tabungan dalam Tapera seharusnya bersifat opsional alias tidak wajib.
“Harus dibahas dan dikaji secara mendalam tidak bisa tanggung renteng untuk urusan perumahan, karena tidak semua karyawan dan pekerja yang membutuhkan perumahan.” Tandas Ronny.
Selain itu beleid Tapera yang menempatkan dana paling banyak di SBN adalah instrument investasi yang nyaris minim resiko. Menurut Ronny hal ini berdampak ke ekonomi melaui intermediasibelanja pemerintah. Karena masuk ke kantong pemerintah melalui instrument surat utang dan sejenisnya. Kemudian pemerintah akan membelanjakannya. Ia menilai dampak jangka pendek ke negara jika dibelanjakan ke SBN maka negara mendapat uangnya untuk jangka pendek. Sementara dalam jangka Panjang, hal ini akan menambah utang negara dan menambah beban APBN.
PERLU BANYAK SOSIALISASI
Banyaknya penolakan yang merespons iuran BP Tapera ini dianggap Presiden Joko Widodo sebagai hal yang lumrah. Jokowi mengatakan, biasanya dalam kebijakan yang baru, Masyarakat juga ikut berhitung. Misalnya mampu atau tidak mampu, berat atau tidak berat. Menurutnya Masyarakat akan mendapat manfaat setelah kebijakan tersebut berjalan. Ia menyamakan dengan saat kebijakan iuran BPJS Kesehatan baru ditertibkan. “hal-hal seperti itu akan dirasakan setela berjalan, kalua belum biasanya pro dan kontra.” Ucap Jokowi di Istora Senayan.
Di sisi lain, Direktur Jendral Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI dan Jamsos) Kementrian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri menjelaskan, sejak munculnmya Peraturan Pemerintahan (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera, memang belum dilakukan sosialisasi secara massif dan pasif. “ini kan masalahnya tak kenal maka tak sayang, jadi kami pemerintah belum perkenalkan dengan baik, belum melakukan sosialisasi massif jadi wajar kalua teman-teman pekerja dan pengusaha belum kenal jadi tak sayang .” ujar Indah.
Indah mengungkapkan bahwa pihaknya berjanji bakal segera melakukan sosialisasi public mengenai kebijakan ini. Menurutnya, pemerintah siap mendengarkan masukan-masukan dari stakeholders kemnaker. Selain itu, lanjut dia terkait pungutan yang dibebankan kepada pekerja non-Aparatur sipil Negara (ASPN), TNI, dan Polri, akan diatur mekanismenya di dalam Peraturan Menteri Ketenaga-kerjaan.
“Jadi tenang saja kita akan terus lakukan diskusi secara intensif, dan sekali lagi, ini masih sampai 2027, nggak usah khawatir, belum ada pemotongan gaji Dimana pun untu non-ASN, TNI, dan Polri.” Ungkapnya.
DAFTAR PUSTAKA
Jika Tapera Potong Gaji Buruh, Komisioner Tapera dapat Gaji 43 Juta, diakses pada 4 Juni 2024, dari https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://nasional.kontan.co.id/news/tapera-banyak-ditolak-pengusaha-kemnaker-tak-kenal-maka-tak-sayang&ved=2ahUKEwj2uPqutMmGAxWgSGwGHZXRAEMQFnoECB4QAQ&usg=AOvVaw0WA8MJyVscwGhSMDdzWbkl
Tapera Tak Peka Realita, diakses pada 6 Juni 2024, diambil dari https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://news.detik.com/kolom/d-7377518/tapera-yang-tak-peka-realita&ved=2ahUKEwjH6rD8s8mGAxVfzDgGHWOOAc0QFnoECCoQAQ&usg=AOvVaw2hEtk_Y2I1bfllkiaN3DcF
Tapera Adalah Tabungan Rakyat, Ini Manfaat dan Besaran Biayanya, diaskes pada 28 Mei 2024, di ambil dari
Iuran Tapera, Solusi, Atau Masalah Baru? Fokus diakses pada 4 Juni 2024, diambil dari https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://fokus.kontan.co.id/news/iuran-tapera-solusi-atau-masalah-baru&ved=2ahUKEwiB97rgxsmGAxVKR2wGHbj3MRUQFnoECCAQAQ&usg=AOvVaw1-Ke621HAlvvucCV5b79S_
Apa Tapera? Ini Pengertian dan Kepersataannya, diakses pada 29 Mei 2024, diambil dari https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://money.kompas.com/read/2024/05/29/084918126/apa-tapera-ini-pengertian-dan-kepesertaannya&ved=2ahUKEwjSh6-rjcmGAxUaxTgGHelGD-YQFnoECGUQAQ&usg=AOvVaw36izP06POnYcsh2czXLNk1